Diskriminasi dan
perlindungan terhadap tenaga kerja perempuan
DISUSUN OLEH
Nama : Dina Hutasoit
NIM
: 161301039
Kelas : A
FAKULTAS
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
TAHUN 2016/2017
DAFTAR
ISI
I.Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan Penulisan
1.3 Pernyataan Tesis
II.
Berbagai Bentuk Diskriminasi terhadap Pekerja Perempuan
2.1
Gambaran Umum Tenaga Kerja Perempuan di Luar Negeri
2.2 Penempatan
Pekerja Migran Perempuan di Luar
Negeri
III.
Penutup
Kata Pengantar
Puji dan syukur atas
kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat yang diberikan, sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas makalah dari mata kuliah Bimbingan Menulis. Makalah ini saya buat sebagai kewajiban untuk memenuhi tugas.
Tidak
lupa pula dalam kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada dosen
Meuti Nauly M.Si yang telah memberisaya kesempatan untuk mendapat pembelajaran dalam proses
menyelesaikan isi dari makalah ini.
Saya
menyadari, bahwa isi dari makalah ini masih belum sempurna, oleh sebab itu
saran dan kritik pembaca dibutuhkan
guna untuk melengkapi isi makalah ini. Seperti pepatah mengatakan Tak ada
gading yang tak retak. Saya
berharap semoga makalah ini berguna bagi para pembaca, guna untuk menambah
wawasan mengenai’’ Diskriminasi dalam
Bidang Pekerjaan terhadap Perempuan’’.
Kamis, 6 April 2017
1.1
Latar Belakang
Peran serta perempuan dalam aktivitas peningkatan pendapatan (income generating activity) sudah berlangsung begitu lama. Sementara itu, pada dua dekade belakangan ini, seiring dengan kemajuan dunia
industri utamanya diperkotaan telah mendorong tenaga kerja perempuan memasuki sektor tersebut sebagai tenaga kerja
sektor formal, meskipun mayoritas
berupah rendah karena mereka umumnya hanya bekerja sebagai buruh( unskilled workers)
atau semi skilled workers, disamping sector informal yang masih merupakan
alternatif dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarga.
Tingkat
Parispisasi Angkatan Kerja Perempuan selama ini menunjukkan peningkatan
yang signifikan. Saat ini yang diperlukan adalah pemberdayaan
dan pengembangan potensi guna meningkatkan kualitas dan perbaikan kesejahteraan
mereka. Ada sejumlah alasan mengapa
perempuan dilibatkan secara luas dalam sector industri, tetapi yang paling
utama adalah karena alasan ekonomi. Perempuan dibayar dengan upah sebesar 20%
sampai 50% lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Sejumlah faktor lain berhubungan erat dengan persoalan gender turut
berpengaruh adalah perempuan dianggap lebih pasif karena bersedia menerima
otoritas, bersedia diupah relatif rendah, dan lebih sedikit terlibat dalam
konflik perburuhan.
Meningkatnya jumlah pencari kerja
perempuan yang tidak diimbangi dengan lapangan kerja yang tersedia telah
menciptakan persaingan yang ketat antarpencari kerja sehingga mereka terpaksa
menerima sistem pengupahan dan jaminan sosial dan keselamatan kerja yang telah
ditetapkan perusahaan, meskipun sering mencerminkan perlakuan diskriminatif dan
eksploitatifdi berbagai perusahaan/ pabrik yang banyak menyerap tenaga kerja
perempuan. Riset membuktikan bahwa lebih
dari separuh perempuan di seluruh dunia telah menjadi penyumbang pendapatan
keluarga dengan berbagai jenis
pekerjaan, dengan cara tersebut perempuan dapat merebut kembali transdensinya.
Bekerja merupakan landasan fundamentalbagi
perempuan untuk mengukuhkan pengakuan akan kemandirian, ketidaktergantungan
menuju kesetaraan dan penegasan status
perempuan sebagai subjek bukan objek. Meskipunsebagian lapangan pekerjaan masih
belum terbebas dari deskriminasi, feminisasi pekerjaan dan kendala kultural,
perempuan secara konsisten telah
membuktikan bahwa keberadaan mereka di ranah publik tetap eksis dan dibutuhkan.
1.2Topik
: Diskriminasi dan Perlindungan terhadap Tenaga Kerja Perempuan
1.3
Tujuan penulisan : Untuk memberikan pengetahuan serta alternatif
pemecahan masalah terhadap diskriminasi yang terjadi sebagai akibat persoalan
gender khususnya dalam bidang pekerjaan.
1.4Pernyataan
tesis: Persoalan gender seharusnya tidak diperdebatkan dalam memberikan
kesempatan kerja bagi siapapun, khususnya bagi perempuan sebagai kaum yang
termarginalkan, karena setiap individu pada hakikatnya memiliki kesetaraan
dalam memperoleh pekerjaan khususnya untuk mensejahterahkan kehidupannya.
BAB
II
2. Berbagai Bentuk Diskriminasi terhadap
Pekerja Perempuan
Hasil
Stidi Convention Watch Program Studi Wanita Universitas Indonesia menunjukkan
bahwa berdasarkan kasus-kasus yang terungkap di berbagai perusahaan dan
industri , deskriminasi masih tetap terjadi( T.O. Ihromi, 1995), yaitu;1. Dalam
hal mendapatkan hak perempuan atas
kesempatan kerja yang sama dengan para pria, kebebasan memilih profesi,
pekerjaan, promosi, dan pelatihan;2. Dalam hal mendapatkan upah yang sama
terhadap pekerjaan yang sama nilainya; 3. Dalam menikmati hak terhadap jaminan
sosial;4.Hak terhadap kesehatan dan keselamatan kerja;5. Hak untuk tidak
diberhentikan dari pekerjaan (dan tetap mendapatkan tunjangan) karena menikah
dan melahirkan, hak akan cuti haid, cuti hamil, dan melahirkan.
Sistem pengupahan selama ini seringkali menjadi titik sentral
konflik antara pekerja dengan pengusaha, mengingat bagi pekerja, upah adalah
hak sebagai imbalan atas jasa dan hasil kerja yang telah mereka kontribusikan
sehingga menghasilkan benda dan jasa sebagai hasil akhir. Sementara itu, bagi
pengusaha upah adalah komponen biaya produksi
barang dan jasa yang sedapat mungkin dapat ditekan. Hal ini menjadi bukti terjadinya deskriminasi terhadap perempuan
dengan alasan mengedepankan posisi subordinasi perempuan di dunia kerja.
Persoalan lainnya adalah
meningkatnyaTingkat Pertumbuhan Angkatan Kerja(TPAK) yang belum diimbangi dengan pemberdayaan pekerja. Seperti meniingkatkan kualitas dan
kemampuan kerja, kesadaran akan hak-hak perlindungan hokum yang minim terhadap
mereka. Hal tersebut merupakan kfaktor pemicu timbulnya perlakuan deskriminasi
dalam keseluruhan sistem ketenagakerjaan.
Pemerintah khususnya Depnaker sebagai
lembaga penetu kebijakan dan pelaksana undang-undang ketenagakerjaan, telah
mengatur berbagai ketentuan yang menyangkut
hubungan kerja pengusaha dan pekerja, sistem pengupahan, jaminan sosial
dan jamsostek. Sayangnya pemerintah sebagai penetu kebijakan masih tampak lemah
dalam sistem pengawasan. Misalnya UU No.33 Tahun 1977 tentang Asuransi Tenaga
Kerja, SE Menaker No.4 Men/1988 tentang Larangan Deskriminasi terhadap Pekerja
Perempuan dan SE Menaker No.03/ Men/ 1989 tentang Larangan Deskriminasi
terhadap Perempuan Menikah, Hamil, dan Melahirkan. Peran reproduksi perempuan
yang sudah diadopsi undang-undang / peraturan ketenagakerjaan terbukti masih
terus dilanggar oleh pihak pengusaha, bahkan peran ini sering menyingkirkan
perempuan dari dunia kerja.
Untuk menyikapi beragamnya persoalan dan
deskriminasi menyangkut kondisi dan
lingkungan kerja , diperlukan mediator untuk menjembatani kebuntuan yang
terjadi antara buruh dan majikan. Upaya berbagai kelompok yang peduli dan
memperjuangkan nasib para pekerja sudah dilakukan, seperti serikat buruh dan
sejenisnya,bahkan melalui jalur hukum. Sayangnya, banyak kasus gagal mencapai
kesepakatan dan pengusaha selalu dimenangkan. Peningkatan dan perbaikan nasib ,
kondisi kerja dan kelangsungan hidup pekerja masih saja tidak mengalami perubahan
bahkan berujung pada PHK.
Hasil studi Pengembangan Kebijakan
Peraturan Upah Nakerwan menunjuk bahwa Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
menemukan berbagai masalah yang menimpa buruh perempuan. Mereka tidak pernah
diberikan kedudukan struktural, meskipun telah bertahun-tahun bekerja di
perusahaan dengan alasan tidak mampu. Berbagai bentuk deskriminasi dan
pelecehan terjadi seperti tidak
diberikannya cuti haid, jika ada maka upah mereka tidak akan diberikan. Pada waktu melamar pekerjaan buruh perempuan
diberi persyaratan tidak boleh menikah selama tiga tahun pertama (Laporan
Penelitian KSW FISIP UI,2001)
Untuk mereduksi perlakuan yang tidak
berkeadilan gender, pemberdayaan terhadap perempuan perlu ditingkatkan baik
dari segi keterampilan, pendidikan dan penguatan terhadap perlindungan dan
penyadaran akan hak-hak pekerja perempuan . Perlu diingat bahwa selama bias
gender dan prasangka negative terhadap perempuan belum bisa dihentikan ,akses
perempuan terhadap peningkatan posisi dalam pekerjaan akan sulit ditembus.
Di Indonesia, meski beberapa butir
peraturan formal ketenagakerjaan telah
menggariskan adanya kesetaraan gender, namun
di tingkat perusahaan dikembangkan ketentuan dan aturan hukum khusus yang saling berbeda antara satu perusahaan dengan
perusahaan lainnya yang khas sesuai dengan kepentingan pihak-pihak tertentu.
Kondisi semacam ini yang sering
memarginalisasikan dan pengucilan
perempuan dalam sistem ketenagakerjaan
dan sangat rentan untuk di-PHK.
Upaya yang dilakukan untuk menghapuskan
diskriminasi terhadap perempuan dan penegakan hukum dalam keseluruhan
sistem dan hubungan-hubungan sosial dan
dalam keseluruhan struktur
ketenagakerjaan merupakan upaya menuju pada kebutuhan strategi gender (Sihite
R.,2000: hlm.392).
2.1 Gambaran Umum Tenaga Kerja Perempuan
di Luar Negeri
Persoalan tenaga kerja yang begitu kompleks tidak hanya terjadi di dalam
negeri, namun permasalahan terparah adalah menyangkut tenaga kerja Indonesia
yang bekerja di luar negeri yang lazim disebut pekerja migran.Jumlah angkatan
kerja migran meningkat terus terutama sejak krisis ekonomi menimpa Indonesia
sekitar tahun 1998. Sehingga jumlah tenaga kerja yang dirumahkan dan di-PHK
meningkat secara signifikan.
Menurut data Bappenas, jumlah tenaga
kerja perempuan mengalami pertumbuhan yang terus meningkat dari 87,9 juta orang
tahun 1997 menjadi 100, 78 juta orang pada tahun 2000 dengan rata-rata
peningkatan 2 juta orang pertahun . Kondisi ini akan terus meningkat sampai
tahun 2004 mencapai 102,88 juta orang
termasuk angkatan kerja baru 2,10 juta orang (Republika, Mei 2004).
Lapangan kerja alternatif yang masih
terbuka adalah memburu lapangan kerja di luar negeri seperti Malaysia dan Negara Timur-Tengah yang
umumnya paling banyak diminati oleh pekerja Indonesia.Lapangan pekerjaan di
luar negeri dianggap cukup menjanjikan dengan upah yang menggiurkan dan
mendatangkan devisa yang tidak sedikit
Selain diwarnai kisah yang menggembirakan
karena mereka merupakan pahlawan devisa dan berhasil menyejahterahkankeluarga
dan warga di sekitarnya, disisi lain masih persoalan terutama bagi pekerja
perempuan yang menggeluti bidang pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga (PRT).
2.2 Penempatan Pekerja Migran Perempuan di Luar Negeri
Persoalan
penempatan pekerja migrasiperempuan keluar negeri sebaiknya dipahami dengan
pendekatan fungsional dan mengkaji ulang fungsi setiap komponen yang ada dalam
sistem penempatan kerja tersebut.Kompoten ini mencakup Deknaker dan KBRI
setempat ,tenaga kerjaperempuan ,pengerah jasa tenaga kerja ,pengguna jasa
tenaga kerja,di luar negeri yang saling terkait satu dengan yang lain.Bila
salah satu komponen tidak berfungsi dengan baik
akan mengganggu keseimbangan bekerja fungsi komponen yang lain.
Mekanisme
rekrutmen tanggung jawab PJTKI terhadap
pekerja,hak-hak dan kewajiban pekerja serta pemberdayaan pekerja telah
tercantum dalam sejumlah regulasi.Misalnya Undang-Undang No .39 Tahun 2004
tentang Penempatan danPerlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri telah
mengatur mengenai perlindungan TKI,ketentuan pidana baik pihak yang melakukan pelanggaran,sistem
pengawasan,dan masih banyak lagi pasal yang mengatur hubungan kerja yang
terkait dengan penempatan tenaga kerja di luar negeri.
BAB
III
III.
Penutup
Kesimpulan
: Fenomena pekerja migran tidak sebatas
masalah ekonomi, pengangguran atau kletenagakerjaan, tetapi persoalan mendasar
yang terkait dengan masalah kemanusiaan yaitu;masalah gender. Dukunga dari
pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah
ketidakadilan tersebut khususnya dalam bidang pekerjaan, dimana perempuan
seharusnya memiliki kesempatan yang sama
dalam memperoleh pekerjaan dan upah yang sesuai sama seperti laki-laki.
Daftar
Pustaka
Chant,
Sylvia. Women in the Third World: Gender issue in rural and urban areas.
London: Edward Elgar. 1989.
Connel,
R.W. Gender and Power. Poluity Press, Oxford. 1991.
Irianto,
Sulistyowati. ‘’Akses Tenaga Kerja kepada Perlindungan Hukum, Dimensi Normatif
dan Kenyataan Sosial,’’Program Studi Kajian Wanita Pascasarjana Universitas
Indonesia.1994.
Sihite,
Romany.’’Perempuan Pekerja Rumahan, Apakah tersentuh kebijakan pembangunan,’’
dalam SitaVan Bemmelen (ed). Benih Bertumbuh. Kelompok Pejuang Perempuan
Tertindas.2000