ANAK GUNUNG
Hanya menunggu waktu bergulir sekejap,
mentaripun mulai menemani jejakan setiap tapakan kaki dari anak-anak yang penuh
dengan perjuangan melawan dinginnya alam, berlarian kesana kemari lentera hidup
yang tiada padam. Tak ada yang istimewa, setiap kehidupan hanyalah bagian
dari lembaran sederhana, bertintakan kepedihan dan perjuangan mempertahankan
hidup.
Semua yang dilalui hanyalah bagian dari
perjalanan yang terkadang tak sebanding dengan pengalaman yang diajarkan alam.
Bagi anak-anak yang manyadari keberadaannya, pastilah berkata bangga dengan
teriakan ‘’sorak kemenangan anak gunung si pengubah nasib’’, sambil menari elok
dengan rupa menawan menapakkan kaki diantara wajah terjal yang selalu setia
menanti. Hanya saja perjuangan untuk mendapatkan semua itu, bukanlah hal yang
gamblang, ‘’masa modern bung!!!!’’, ungkap mereka yang tidak memahami makna.
Beralaskan sepatu tua yang tetap gigih,
disanding koper hitam yang mulai memudar,
berbekal potongan singkong rebus yang lembut, pertanda telah siap seonggok insan muda yang penuh
semangat menjejaki terjalan pendidikan, bermodalkan pesan dari gunung. Berjalan
bersama sahabat karib, berhembuskan
sorak-sorai candaan anak-anak yang hendak menuruni gunung demi mengecap jenjang
pendidikan.
Tak ada yang dipersalahkan dengan keadaan alam,
yang penting hanyalah tekad kuat yang mesti dipertaruhkan. Delapan pemuda
sederhana yang tiada kenal kota, mulai menyesuaikan diri dengan keadaan yang
janggal ini. Menuruni gunung, melewati hamparan kebun kelapa sawit, ditambah
harus melewati aliran sungai yang cukup dasyat, hanyalah bagian dari lembar
pertama dari kisah baru ini. Segala perjalanan yang terlalui hanyalah mainan
kecil di desa puncak, untuk masalah menempuh jalan menuju sekolah. Yang membuat
lembaran berikutnya mulai terbata-bata dengan penuh tanda tanya adalah goresan
tajam yang memilukan. Entah darimana asalnya, yang mereka pedulikan hanyalah
pencapaian pada tempat tujuan. Sedih memang melepaskan anak pergi merantau ke
tanah orang, namun demi hidup yang lebih baik, orangtua di desa puncak harus
merelakan kepergian anak mereka untuk mengecap bangku pendidikan demi memantapkan
martabat ‘’anak gunung’’.
Tiada pernah terpikir bagi mereka hidup jauh
dari orangtua, ditambah lagi harus menjalani hidup sendiri di ruangan berukuran
2x3 yang menyesakkan, yang ramah dipanggil dengan sebutan’’kos’. Tiada lagi
hembusan udara segar yang meniup selimut, berlampukan sinar rembulan titip
rindu lembaran lalu. Namun semuanya harus dilalui demi menggapai impian besar
yakni’’ Menggangkat derajat anak gunung’’, begitu teriakan seorang anak muda
yang sembari membuka lembaran buku didepannya. ‘’Indra!!! Cepatlah buka kamar
kau, sudah haruslah kita ini berperang melawan tajuk
sebelah!!,,,dorr!!,,,dorr!!!,,,,dorr!!!’’, teriakan itu sontak membuatnya hamper jatuh pingsan seolah sedang terjadi
perang dasyat, bak penjajahan. Sembari membuka pintu diapun menarik kuat teman
yang berteriak di depan kamar kosnya, seraya menutup pintu dengan engsel yang
menurutnya cukup kuat untuk menahan
pukulan dari luar.
Entah darimana awalnya, kawan yang dahulu
menjadi sahabat berbagi kini menjadi musuh yang membabi. Sekejap saja semuanya
berubah, semua wajah polos yang terpampang dahulu seolah hanya topeng yang
dapat diganti dengan karakter lain. Betapa terkejutnya dia ketika mendengar
bujukan teman karibnya untuk ikut dalam
aksi aneh yang sepatutnya tidak boleh dilakukan oleh siapapun. Mata yang sedari tadi menyimpan tanya,
tiba-tiba menatap kuat mata kawan karibnya berharap mendapat jawaban dari perubahan
yang membelenggu kawan-kawannya masuk dalam lingkar iblis itu. Mata yang seakan
menerkam topeng aneh yang sedang dipermainkan kawannya itu. Mula-mula
keheningan menyelimuti mereka berdua, namun sesaat kemudian, terpecahkan oleh
bibir yang mulai mengoceh kotor dengan nada lirih,’’ Apa yang kau dapat kawan
hanya diam disini, tak ada arti belajar, buku hanyalah benda yang tidak berarti,tanpa bukupub kita dapat kaya, yang
penting nyali bro!!,,,,nyali,,,,,!!!’’
Unkapan itu seolah mengulang peristiwa yang pernah
dilewatinya ketika adiknya masih beramanya. Taka da kata yang mampu terucap
diibibrnya. Memang benar dengan nyali, apapun dapat dilakukan oleh setiap
orang, melakukan begal, menawan warga dengan goresan pisau yang menancap halus
dijalan ditemati teriakan yang memilukan,
bertaruh balapan liar, merampok, hinga tak seorangpun penduduk yang
dapat berkutik. Semuanya itu memang dapat menghasilkan uang, namun tidak dengan
kehormatan dan kebanggaan. Dua tahun yang lalu, adiknya yang masih berada
dibangku kelas tiga SMP, harus kehilangan kaki, dan sebelah matanya, karena
mencoba mengikuti zaman yang ada, hingga akhirnya pertarungan yang tak
terelakkan antara beberapa kelompok di wilayah tempat dia bersekolah. Ibarat
kata, kejam ibu tiri, lebih kejam ibu kota. Sebetulnya, daerah itu masih
tergolong daerah perbatasan antara kota dengan desa, jadi tidak dapat dikatakan
kota secara penuh. Namun dari segi kemajuan daerah tersebut sudah termasuk jauh
lebih maju disbanding dengan desa puncak, kampung halamannya itu.
Tangan yang sedari tadi menahan emosi, seketika
mendarat ke wajah Rendra, sahabat karibnya itu, sembari berkata, ‘’Kalau saja
aku diberi kesempatan untuk mengulur waktu, tak akan ada niatku belajar dikota
seperti ini!!!, kalau saja pendidikan didesa kita ada tak akan aku tega
menancapkan kakiku di lingkungan kotor seperti ini!!’’ sambil menarik kerah baju Rendra, sahabatnya
itu, dia kembali melanjutkan kata-katanya, namun kali ini dengan suara yang
terbata-bata dengan cucuran air mata yang mulai membasahi wajahnya yang
rupawan,,,’’Andai aku dapat mengulur waktu, ayahku mungkin tidak akan menderita
merawat adikku yang menjadi cacat karena kebodohan ini, dan mungkin aku masih
bisa melihat wajah ibuku!!!’’
Mendengar ungkapan kekecewaan dari sahabatnya
itu, akhirnya Rendra tersadar akan keadaannya yang mengecewakan. Dia harus
kehilangan kesempatan bersekolah hanya karena tawaran nikmat sesaat, sementara
sahabat yang selalu diejeknya lantaran tak mau bergabung dengan geng
kelompoknya, saat ini hamper menyelesaikan jenjang pendidikan SMAnya, dengan
berbagai prestasi yang membanggakan, sehingga ayahnya tetap memberinya
kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya. Sementara dirinya begitu
menyedihkan, hidup dengan memperalat ketakutan masyarakat, keluar masuk penjara,
hidup dengan uang hasil rampasan. Dan paling menyedihkan, ketika orangtuanya
mengakhiri hidup di pondok, lantaran mendengar kabar bahwa Rendra, anaknya
telah putus sekolah.
Tubuhnya serasa bergetar menandakan beribu
ketakutan yang tiba-tiba datang menghantui pikirannya. Tak ada sepatah katapun
yang dapat keluar dari bibirnya setelah melihat kemarahan dan teguran dari
sahabatnya itu. Sementara Rendra menoleh badannya untuk keluar dari kamar
Indra. Indra kemudian melanjutkan perkataannya pada Rendra, ‘’Jika engkau masih
ingin bertarung dengan sekompok geng sebelah atau meneror warga maka lakukan
saja, tapi ingat satu hal kalu mulai
saat ini, engkau hanya jadi musuh bagiku’’.
Setelah mendengar ucapan terakhir dari Indra,
akhirnya Rendra keluar dan pergi menjauhi tempat kos sahabatnya itu. Namun,
beberapa saat kemudian Indra yang sedang emosi terkejut, ketika temannya itu
menyebut namanya dengan lirih beberapa kali. Diapun sontak keluar dan melihat
keadaan, dan betapa terkejutnya dia ketika melihat temannya tergeletak
bersimbah darah, akibat sayatan yang menggores di leher sebelah kirinya,
rupanya seseorang telah membuntutinya sejak lama, bahkan golok yang digunakan
oleh musuhnya masih berada dekat dari tempat Rendra tergeletak. Mungkin
sebelumnya Rendra sempat menyelamatkan diri, hingga akhirnya golok orang asing
tersebut singgah dileher Rendra, hingga dengan keadaan panik orang asing
tersebut kabur dan pergi entah kemana.
Indra yang begitu terkejut, berusaha menopang
sahabat baiknya itu hingga sampai ke rumah seorang bidan yang,.......(Selanjutnya tungguin yaa..)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar