Sabtu, 08 April 2017

Cerpen'Anak Gunung'_Bagian 1



ANAK GUNUNG
Hanya menunggu waktu bergulir sekejap, mentaripun mulai menemani jejakan setiap tapakan kaki dari anak-anak yang penuh dengan perjuangan melawan dinginnya alam, berlarian kesana kemari lentera hidup yang tiada padam. Tak  ada yang  istimewa, setiap kehidupan hanyalah bagian dari lembaran sederhana, bertintakan kepedihan dan perjuangan mempertahankan hidup.
Semua yang dilalui hanyalah bagian dari perjalanan yang terkadang tak sebanding dengan pengalaman yang diajarkan alam. Bagi anak-anak yang manyadari keberadaannya, pastilah berkata bangga dengan teriakan ‘’sorak kemenangan anak gunung si pengubah nasib’’, sambil menari elok dengan rupa menawan menapakkan kaki diantara wajah terjal yang selalu setia menanti. Hanya saja perjuangan untuk mendapatkan semua itu, bukanlah hal yang gamblang, ‘’masa modern bung!!!!’’, ungkap mereka yang tidak memahami makna.
Beralaskan sepatu tua yang tetap gigih, disanding koper hitam yang mulai memudar,   berbekal potongan singkong rebus yang lembut, pertanda  telah siap seonggok insan muda yang penuh semangat menjejaki terjalan pendidikan, bermodalkan pesan dari gunung. Berjalan bersama sahabat karib,  berhembuskan sorak-sorai candaan anak-anak yang hendak menuruni gunung demi mengecap jenjang pendidikan.
Tak ada yang dipersalahkan dengan keadaan alam, yang penting hanyalah tekad kuat yang mesti dipertaruhkan. Delapan pemuda sederhana yang tiada kenal kota, mulai menyesuaikan diri dengan keadaan yang janggal ini. Menuruni gunung, melewati hamparan kebun kelapa sawit, ditambah harus melewati aliran sungai yang cukup dasyat, hanyalah bagian dari lembar pertama dari kisah baru ini. Segala perjalanan yang terlalui hanyalah mainan kecil di desa puncak, untuk masalah menempuh jalan menuju sekolah. Yang membuat lembaran berikutnya mulai terbata-bata dengan penuh tanda tanya adalah goresan tajam yang memilukan. Entah darimana asalnya, yang mereka pedulikan hanyalah pencapaian pada tempat tujuan. Sedih memang melepaskan anak pergi merantau ke tanah orang, namun demi hidup yang lebih baik, orangtua di desa puncak harus merelakan kepergian anak mereka untuk mengecap bangku pendidikan demi memantapkan martabat ‘’anak gunung’’.
Tiada pernah terpikir bagi mereka hidup jauh dari orangtua, ditambah lagi harus menjalani hidup sendiri di ruangan berukuran 2x3 yang menyesakkan, yang ramah dipanggil dengan sebutan’’kos’. Tiada lagi hembusan udara segar yang meniup selimut, berlampukan sinar rembulan titip rindu lembaran lalu. Namun semuanya harus dilalui demi menggapai impian besar yakni’’ Menggangkat derajat anak gunung’’, begitu teriakan seorang anak muda yang sembari membuka lembaran buku didepannya. ‘’Indra!!! Cepatlah buka kamar kau, sudah haruslah kita ini berperang melawan tajuk sebelah!!,,,dorr!!,,,dorr!!!,,,,dorr!!!’’, teriakan itu sontak membuatnya  hamper jatuh pingsan seolah sedang terjadi perang dasyat, bak penjajahan. Sembari membuka pintu diapun menarik kuat teman yang berteriak di depan kamar kosnya, seraya menutup pintu dengan engsel yang menurutnya cukup  kuat untuk menahan pukulan dari luar.
Entah darimana awalnya, kawan yang dahulu menjadi sahabat berbagi kini menjadi musuh yang membabi. Sekejap saja semuanya berubah, semua wajah polos yang terpampang dahulu seolah hanya topeng yang dapat diganti dengan karakter lain. Betapa terkejutnya dia ketika mendengar bujukan teman karibnya untuk  ikut dalam aksi aneh yang sepatutnya tidak boleh dilakukan oleh siapapun.  Mata yang sedari tadi menyimpan tanya, tiba-tiba menatap kuat mata kawan karibnya berharap mendapat jawaban dari perubahan yang membelenggu kawan-kawannya masuk dalam lingkar iblis itu. Mata yang seakan menerkam topeng aneh yang sedang dipermainkan kawannya itu. Mula-mula keheningan menyelimuti mereka berdua, namun sesaat kemudian, terpecahkan oleh bibir yang mulai mengoceh kotor dengan nada lirih,’’ Apa yang kau dapat kawan hanya diam disini, tak ada arti belajar, buku hanyalah benda yang tidak  berarti,tanpa bukupub kita dapat kaya, yang penting nyali bro!!,,,,nyali,,,,,!!!’’
Unkapan itu seolah mengulang peristiwa yang pernah dilewatinya ketika adiknya masih beramanya. Taka da kata yang mampu terucap diibibrnya. Memang benar dengan nyali, apapun dapat dilakukan oleh setiap orang, melakukan begal, menawan warga dengan goresan pisau yang menancap halus dijalan ditemati teriakan yang memilukan,  bertaruh balapan liar, merampok, hinga tak seorangpun penduduk yang dapat berkutik. Semuanya itu memang dapat menghasilkan uang, namun tidak dengan kehormatan dan kebanggaan. Dua tahun yang lalu, adiknya yang masih berada dibangku kelas tiga SMP, harus kehilangan kaki, dan sebelah matanya, karena mencoba mengikuti zaman yang ada, hingga akhirnya pertarungan yang tak terelakkan antara beberapa kelompok di wilayah tempat dia bersekolah. Ibarat kata, kejam ibu tiri, lebih kejam ibu kota. Sebetulnya, daerah itu masih tergolong daerah perbatasan antara kota dengan desa, jadi tidak dapat dikatakan kota secara penuh. Namun dari segi kemajuan daerah tersebut sudah termasuk jauh lebih maju disbanding dengan desa puncak, kampung halamannya itu.
Tangan yang sedari tadi menahan emosi, seketika mendarat ke wajah Rendra, sahabat karibnya itu, sembari berkata, ‘’Kalau saja aku diberi kesempatan untuk mengulur waktu, tak akan ada niatku belajar dikota seperti ini!!!, kalau saja pendidikan didesa kita ada tak akan aku tega menancapkan kakiku di lingkungan kotor seperti ini!!’’  sambil menarik kerah baju Rendra, sahabatnya itu, dia kembali melanjutkan kata-katanya, namun kali ini dengan suara yang terbata-bata dengan cucuran air mata yang mulai membasahi wajahnya yang rupawan,,,’’Andai aku dapat mengulur waktu, ayahku mungkin tidak akan menderita merawat adikku yang menjadi cacat karena kebodohan ini, dan mungkin aku masih bisa melihat wajah ibuku!!!’’
Mendengar ungkapan kekecewaan dari sahabatnya itu, akhirnya Rendra tersadar akan keadaannya yang mengecewakan. Dia harus kehilangan kesempatan bersekolah hanya karena tawaran nikmat sesaat, sementara sahabat yang selalu diejeknya lantaran tak mau bergabung dengan geng kelompoknya, saat ini hamper menyelesaikan jenjang pendidikan SMAnya, dengan berbagai prestasi yang membanggakan, sehingga ayahnya tetap memberinya kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya. Sementara dirinya begitu menyedihkan, hidup dengan memperalat ketakutan masyarakat, keluar masuk penjara, hidup dengan uang hasil rampasan. Dan paling menyedihkan, ketika orangtuanya mengakhiri hidup di pondok, lantaran mendengar kabar bahwa Rendra, anaknya telah putus sekolah.
Tubuhnya serasa bergetar menandakan beribu ketakutan yang tiba-tiba datang menghantui pikirannya. Tak ada sepatah katapun yang dapat keluar dari bibirnya setelah melihat kemarahan dan teguran dari sahabatnya itu. Sementara Rendra menoleh badannya untuk keluar dari kamar Indra. Indra kemudian melanjutkan perkataannya pada Rendra, ‘’Jika engkau masih ingin bertarung dengan sekompok geng sebelah atau meneror warga maka lakukan saja, tapi ingat satu hal  kalu mulai saat ini, engkau hanya jadi musuh bagiku’’.
Setelah mendengar ucapan terakhir dari Indra, akhirnya Rendra keluar dan pergi menjauhi tempat kos sahabatnya itu. Namun, beberapa saat kemudian Indra yang sedang emosi terkejut, ketika temannya itu menyebut namanya dengan lirih beberapa kali. Diapun sontak keluar dan melihat keadaan, dan betapa terkejutnya dia ketika melihat temannya tergeletak bersimbah darah, akibat sayatan yang menggores di leher sebelah kirinya, rupanya seseorang telah membuntutinya sejak lama, bahkan golok yang digunakan oleh musuhnya masih berada dekat dari tempat Rendra tergeletak. Mungkin sebelumnya Rendra sempat menyelamatkan diri, hingga akhirnya golok orang asing tersebut singgah dileher Rendra, hingga dengan keadaan panik orang asing tersebut kabur dan pergi entah kemana.
Indra yang begitu terkejut, berusaha menopang sahabat baiknya itu hingga sampai ke rumah seorang bidan yang,.......(Selanjutnya tungguin yaa..)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Inspirasi kehidupan Dina Masa remaja hanyalah tujuh tahun, begitu singkat, tetapi ketujuh tahun ini mempengaruhi enam puluh satu sisanya...